MANAJEMEN DANA BANK, SUMBER DANA BANK DAN ALOKASI DANA BANK

Gambar
Bank sebagai suatu perusahaan tentunya sangat memperhatikan manajemen yang ada di dalamnya, baik manajemen sumber daya manusianya maupun manajemen lainnya termasuk manajemen dana yang diperolehnya. Ngomong-ngomong , kali ini akan dibahas lebih lanjut mengenai manajemen dananya, baik sumbernya maupun alokasi dananya. Manajemen adalah ilmu atau seni dalam melakukan sesuatu untuk mencapai tujuan tertentu. Dana dapat diartikan sebagai kas ataupun modal kerja. Maksudnya dana sebagai kas disini adalah dana langsung dapat menjadi uang tunai saat dibutuhkan. Sedangkan dana sebagai modal kerja adalah dana yang digunakan untuk membiayai kegiatan operasional perusahaan. Menurut Kamus Bebas Bahasa Indonesia (KBBI), dana adalah uang yang disediakan untuk suatu keperluan. Adapun manajemen dana bank adalah upaya yang dilakukan oleh bank dalam mengelola atau mengatur posisi dana yang diterima dari aktivitas  funding  untuk disalurkan kepada aktivitas  financing. Sebagaimana halnya bank mempunyai per

Makalah Model Penelitian Politik

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Masalah politik ternasuk bidang studi yang menarik perhatian masyarakat pada umumnya. Hal ini antara lain di sebabkan karena masalah politik selalu mempengaruhi kehidupan masyarakat. Masyarakat yang tertib, aman, damai, sejahtera lahir dan batin dan seterusnya tidak dapat dilepaskan dari sistem politik yang diterapkan. Karena demikian pentingnya masalah politik ini, telah banyak studi dan kajian yang dilakukan para ahli terhadapnya. Demikian pula dengan ajaran islam sebagai ajaran yang mengatur kehidupan manusia secara menyeluruh juga diyakini mengandung kajian mengenai masalah politik dan kenegaraan.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari politik itu?
2.      Bagaimana eksistensi politik dalam islam?
3.      Bagaimana model-model penelitian politik itu?
C.    Tujuan Pembahasan
1.      Untuk mengetahui pengertian dari politik
2.      Untuk mengetahui eksistensi politik dalam islam
3.      Untuk mengetahui model-model penelitian politik



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Politik
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, karangan W.J.S Poerwadarminza, politik di artikan sebagai pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan, seperti tata cara pemerintahan, dasar-dasar pemerintahan dan sebagainya dan dapat pula berarti segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan), siasat dan sebagainya mengenai pemerintahan suatu negara atau terhadap negara lain.[1]
Selanjutnya sebagai suatu sistem, politik adalah suatu konsepsi yang berisikan antara lain ketentuan-ketentuan tentang siapa sumber kekuasaan negara, siapa pelaksana kekuasaan tersebut, apa dasar dan bagaimana cara untuk menentukan, serta kepada siapa kewenangan melaksanakan kekuasaan itu di berikan, kepada siapa pelaksanaan kekuasaan itu bertanggung jawab dan bagaimana bentuk tanggung jawabnya.
B.     Eksistensi Politik dalam Islam
Di kalangan masyarakat Islam pada umumnya kurang melihat hubungan masalah politik dengan agama. Hal ini di sebabkan karena pemahaman yang kurang utuh terhadap cakupan ajaran Islam itu sendiri. Banyak orang yang beragama islam, tetapi hanya menganggap Islam adalah individual dan lupa kalau Islam merupakan kolektivitas. Sebagai kolektivitas, Islam mempunyai kesadaran, struktur dan mampu melakukan aksi bersama.
Pernyataan atau tesis tersebut selanjutnya dibuktikan oleh Kuntowijoyo secara meyakinkan dalam bukunya itu, bahwa Islam memiliki konsep tentang politik.
Keterkaitan agama Islam dengan aspek politik selanjutnya dapat dilihat dalam buku Harun Nasution yang berjudul Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya jilid II. Dalam bukunya, ditegaskan bahwa persoalan yang pertama-tama timbul dalam Islam menurut sejarah bukanlah persoalan tentang keyakinan melainkan persoalan politik. Ketika Nabi Muhammad berada di Madinah, tidak hanya sebagai Rasul tetapi juga sebagai Kepala Negara pada masa itu. Para peneliti sejarah politik mengategorikan corak politik yang diterapkan Nabi Muhammad adalah bercorak deo-demokratis, yaitu suatu pola pemerintahan yang dalam menyelesaikan setiap persoalan terlebih dahulu melakukan musyawarah, kemudian menunggu ketetapan Tuhan. Hal ini dimungkinkan karena pada masa Nabi Muhammad wahyu masih dalam proses turunnya.
Setelah beliau wafat, pemerintahan negara secara berturut-turut dipegang oleh Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ustman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Pada zaman empat khalifah ini, corak pemerintahannya adalah aristokrat demokratik, yaitu sistem pemerintahan yang dalam menyelesaikan masalah dengan cara musyawarah yang para anggotanya dari kalangan aristokrat. Kalangan aristokrat sendiri adalah kumpulan bangsawan atau orang kaya yang mendapat gelar bangsawan, sehingga mendapat hak-hak yang elit dan istimewa untuk memimpin suatu wilayah.[2] Bibit perpecahan umat terjadi mulai zaman Usman bin Affan dan mencapai puncaknya di zaman Ali bin Abi Thalib. Sebab-sebabnya antara lain krena pemerintah Usman dinilai sudah kurang lurus. Politik neopotisme yang diterapkan di zaman Usman menimbulkan reaksi yang tidak menguntungkan kedudukannya.
Selanjutnya, setelah Usman wafat, Ali bin Abi Thalib tampil mengantikannya, tetapi segera ia mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi khalifah, terutama Talhah dan Zubair dari Mekkah yang mendapat sokongan dari Aisyah, tantangan yang datang dari Mu;awiyah, Gubernur Damaskus, dan selanjutnya membawa kepada terjadinya peperangan yang kemudian diselesaikan dengan perundingan tahkim (arbitrase) yang secara politik dan diplomatik mengalahkan pihak Ali.
Selanjutnya, kekhalifahan dilanjutkan oleh kelompok Bani Umayyah dengan Mu’wiyah bin Abi Sufyan sebagai pendirinya. Pada masanya corak pemerintahan sudah berubah menjadi bentuk kerajaan, karena pengangkatan kepala negara tidak lagi berdasarkan musyawarah secara demokratis, melainkan petunjuk kepada putra mahkota secara otokratis
Setelah tiga kesultanan tersebut hancur dan negara-negara islam di bawah kekuasaan penjajahan Barat, negara Islam mengikuti sistem yang di terapkan kaum penjajah. Setelah berakhir masa penjajahan Barat di akhiri abad ke sembilan belas, kini negara Islam mengambil bentuk sistem pemerintahan yang tidak seragam.
Berdasarkan penelusuran kesejarahan, islam sejak kelahirannya telah mengenal bentuk pemerintahan atau sudah mengenal sistem politik. Selain itu, sejarah juga menunjukkan bahwa islam tidak mengenal bentuk pemerintahan tertentu. Islam dapat menerima bentuk dan sistem pemerintahan apapun sepanjang bentuk dan sistem pemerintahan tersebut dapat menegakkan keadilan, kemakmuran, kesejahteraan lahir batin, aman dan damai bagi seluruh masyarakat.[3]
Keberadaan politik dalam Islam selanjutnya dapat pula dilihat dari munculnya berbagai teori politik, khususnya khalifah dan imamiyah yang diajukan berbagai aliran. Berbagai aliran politik, teologi juga para filosof sudah berbicara tentang politik. Jika Kaum syi’ah, misalnya, mengatakan bahwa kekuasaan pemerintahan harus berasal dari keturunan Ali bin Abi Thalib, kaum sunni tidak menerima paham-paham tersebut.
Sementara itu, dikalangan Khawarij terdapat doktrin yang menyatakan bahwa seorang khalifah dapat dijatuhkan oleh rakyat manakala sudah menyimpang dari syariat Islam yang diyakini paling benar. Sedangkan Al-Ghazali dari kalangan sunni berpendapat bahwa khalifah tidak dapat di jatuhkan, walaupun khalifah yang zalim. Menggulingkan khalifah yang zalim tapi kuat akan  membawa kekacauan dan pembunuhan dalam masyarakat.
Selain kaum teolog, kaum filosof Islam juga membahas soal politik dalam Islam. Al-Farabi umpamanya, meninggalkan buku bernama al-Madinah al-Fadilah (Negara Terbaik). Didalamnya ia menguraikan bahwa negara terbaik adalah negara yang dikepalai oleh seorang Rasul.
Selanjutnya, Munawir Sjadzali, berdasarkan hasil penelitiannya menginformasikan, bahwa dikalangan umat Islam sampai sekarang terdapat tiga aliran tentang hubungan Islam dan ketatanegaraan.
a.    Aliran petama, berpendirian bahwa Islam bukan semata-mata agama dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia dengan Tuhan, sebaliknya Islam adalah suatu agama yang sempurna dan yang lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara. Tokoh-tokohnya antara lain Syaikh Hasan Al-Bana, Sayyid Quthb, Syaikh Muhammad Rasyid Ridha dan Maulana A.A.Maududi.
b.   Aliran kedua, berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Tokoh-tokohnya antara lain Ali Abd Al-Razik dan Thaha Husain.
c.   Aliran ketiga, menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap dan bahwa dalam Islam terdapat sistem kenegaraan. Tokoh yang menonjol adalah Mohammad Husein Haikal.

C.    Model-Model Penelitian Politik
Berikut ini akan di sajikan model penelitian politik yang dilakukan oleh:


1.      Model M.Syafi’i  Ma’arif
Salah satu hasil penelitian bidang politik yang dilakukan Syafi’i Ma’arif tertuang dalam bukunya Islam dan Masalah Kenegaraan, yang diterbitkan oleh LP3ES Jakarta, tahun 1985.
Hasil penelitiannya tertuang dalam lima bab yang saling berhubungan logis. Bab I adalah Pendahuluan. Beliau mengemukakan substansi ajaran Al-Qur’an mengenai ketatanegaraan. Ia mengatakan usaha intelektual yang sungguh-sungguh dalam menjelaskan dan mensistematisasikan berbagai aspek ajaran Islam perlu digalakkan agar umat islam punya kemampuan menghadapi dan memecahkan masalah-masalah modern yang sedang di hadapi oleh Bangsa Indonesia, seperti kemiskinan.[4] Dengan mengikuti pandangan ini, menurutnya, studi Al-Qur’an secara mendalam dan sistematik menjadi sangat mutlak diperlukan. Tanpa kerja strategis ini, bangunan sosio politik Islam akan tetap goyang.
Berangkat dari latar belakang pemikirannya itu, masalah pokok yang ingin diteliti oleh Syafi’i adalah ingin melihat seberapa jauh tingkat hubungan antara ajaran etik Al-Qur’an dan sunnah Nabi dengan kenyataan empirik dalam sejarah kehidupan perpolitikan umat Islam di Indonesia.
Selanjutnya Bab II mengemukakan secara hati-hati teori-teori politik yang di rumuskan para yuris Muslim abad pertengahan dan sarjana-sarjana serta pemikir Muslim Modern.
Selanjutnya Bab III, bertitik berat pada mendekati Islam Indonesia di abad 20. Bab ini tidak hanya bersifat deskriptif historis, tetapi juga analitis evaluatif.
Selanjutnya Bab IV, menguraikan secara kritis masalah yang sangat krusial, yaitu pengajuan Islam sebagai dasar falsafah negara oleh partai-partai Islam dan tantangan kelompok nasionalis dalam sidang-sidang Majelis Konstituante Republik Indonesia. Bab V, kesimpulan dari penelitiannya.
Selanjutnya Syafi’I  Ma’arif mengatakan bahwa suatu analisa tentang tema pokok dan topik-topik lain dalam esai ini akan melahirkan tiga hipotesis yang berkaitan secara organik yang perlu dilacak lebih jauh. Tiga hipotesis tersebut ialah :
1.   Islam di Indonesia, sebagian telah disinggung di bagian awal merupakan suatu agama yang hidup dinamis, ia bergerak perlahan-lahan tapi nampaknya pasti dari posisi kuantitas ke posisi kualitas.
2.   Usaha-usaha mengubah negara Indonesia menjadi negara Islam, sekalipun sah menurut undang-undang Dasar pada tahun 1950-an, merupakan usaha prematur dan tidak realistik karena fondasi keintelektualan keagamaan yang kukuh bagi bangunan serupa itu belum lagi di ciptakan.
3.   Prospek Islam di Indonesia nampaknya banya tergantung pada kemampuan intelektual muslim, para ulama-ulama dan pemimpin-pemimpin Islam yang lain untuk memahami realitas masyarakat mereka, baik di bidang politik, ekonomi sosial, maupun kultural serta hubungannya dengan ajaran-ajaran Islam  sebagaiman yang telah terurat dan tersirat dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah yang sejati.

Dengan megikuti uraian tersebut, terlihat dengan jelas bahwa model penelitian politik yang dilakukan Syafi’i Ma’arif sangat baik dijadikan model oleh para peneliti selanjutnya. Bentuk penelitianya bersifat deskriptif analisis. Pendekatan dan analisis yang digunakan bersifat normatif historis, sedangkan data-data yang digunakan bersumber pada kajian perpustakaan.

2.      Model Harry J. Benda
Penelitian di bidang politik juga dilakukan oleh Harry J. Benda, sebagaimana tertuang dalam bukunya yang berjudul Bulan Sabit dan Matahari Terbit Islam di Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang, di terjemahkan Daniel Dhakidae dari judul aslinya The Crescent and The Rising Sun, dan diterbitkan oleh Pustaka Jaya, tahun 1980.
Penelitian tersebut berusaha mencari informasi dari sumber-sumber sesudah perang, dalam usaha untuk menguji dan memeperbaiki gambaran yang telah muncul dari studi catatan-catatan masa pendudukan.
            Sejalan dengan upaya tersebut, maka penelitian yang dilakukan dibuat untuk memberikan analisa sosio-historis tentang elite islam dan dalam jangkauan yang lebih kecil, tentang elit-elit non religius yang bersaing di panggung politik Indonesia dibawah kekuasaan asing. Penelitian tersebut diarahkan pada tempat-tempat yang diberikan kepada pemimpin masyarakat Islam oleh tuan penjajah berturut-turut.
            Dari segi cakupannya, penelitian ini membahas perkembanagn islam di Pulau Jawa saja. Batasan ruang lingkup yang patut disesalkan ini sebagian besar ditentukan oleh sumber-sumber bahan yang bisa di peroleh. Terutama pada masa Jepang, banyak informasi atau catatan-catatan kecil yang tidak dapat diperoleh peneliti.
            Aspek politik Islam Indonesia merupakan pokok utama dalam buku tersebut. Pembahasan seperti ini terpaksa tidak memperdulikan adanya perbedaan regional yang meliputi Islam bahkan dalam konteks terbatas di Pulau Jawa. Kesimpulan yang dihasilkan dari penelitian tersebut, menurut Benda di Jawa telah mendapatkan perwujudan organisatoris paling penting. Di sanalah kelompok-kelompok Islam paling langsung terlibat dalam membentuk politik Indonesia pada umumnya.
            Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa model penelitian yang dilakukan Benda mengambil bentuk penelitian kepustakaan dengan corak penelitian deskriptif, dengan menggunakan pendekatan analisis sosio-historis.[5]




       [1] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm.316
 [2] Alfi, Apa Yang dimaksud Dengan Aristokrat, diakses dari http://www.alfiforever.com/2014/02/apa-yang-dimaksud-dengan-aristokrat.html pada 06 Desember 2016 pukul 20.09
       [3] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm. 317-324
       [4]Ibid., hlm.325-330
       [5] Ibid., hlm.330-331

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah filsafat alam

MANAJEMEN DANA BANK, SUMBER DANA BANK DAN ALOKASI DANA BANK