BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
politik ternasuk bidang studi yang
menarik perhatian masyarakat pada umumnya. Hal ini antara lain di sebabkan
karena masalah politik selalu mempengaruhi kehidupan masyarakat. Masyarakat
yang tertib, aman, damai, sejahtera lahir dan
batin dan seterusnya tidak dapat dilepaskan dari sistem politik yang diterapkan. Karena demikian pentingnya masalah politik ini, telah
banyak studi dan kajian yang dilakukan para ahli terhadapnya. Demikian pula
dengan ajaran islam sebagai ajaran yang mengatur kehidupan manusia secara
menyeluruh juga diyakini mengandung kajian mengenai masalah politik dan
kenegaraan.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa
pengertian dari politik itu?
2. Bagaimana
eksistensi politik dalam islam?
3. Bagaimana
model-model penelitian politik itu?
C.
Tujuan Pembahasan
1. Untuk
mengetahui pengertian dari politik
2. Untuk
mengetahui eksistensi politik dalam islam
3. Untuk
mengetahui model-model penelitian politik
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Politik
Dalam Kamus Umum Bahasa
Indonesia, karangan W.J.S Poerwadarminza,
politik di artikan sebagai pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan,
seperti tata cara pemerintahan, dasar-dasar pemerintahan
dan sebagainya dan dapat pula berarti segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan), siasat dan sebagainya mengenai
pemerintahan suatu negara atau terhadap negara lain.
Selanjutnya sebagai suatu sistem, politik adalah suatu konsepsi
yang berisikan antara lain ketentuan-ketentuan tentang siapa sumber kekuasaan
negara, siapa pelaksana kekuasaan tersebut, apa dasar dan bagaimana cara untuk
menentukan, serta kepada siapa kewenangan melaksanakan kekuasaan itu di
berikan, kepada siapa pelaksanaan kekuasaan itu bertanggung jawab dan bagaimana
bentuk tanggung jawabnya.
B.
Eksistensi
Politik dalam Islam
Di kalangan
masyarakat Islam pada umumnya kurang
melihat hubungan masalah politik dengan agama. Hal ini di sebabkan karena
pemahaman yang kurang utuh terhadap cakupan ajaran Islam itu sendiri. Banyak
orang yang beragama islam, tetapi hanya menganggap Islam adalah individual dan
lupa kalau Islam merupakan kolektivitas.
Sebagai kolektivitas, Islam
mempunyai kesadaran, struktur
dan mampu melakukan aksi bersama.
Pernyataan atau tesis tersebut selanjutnya dibuktikan
oleh Kuntowijoyo secara meyakinkan dalam bukunya itu, bahwa Islam memiliki
konsep tentang politik.
Keterkaitan agama Islam dengan aspek politik selanjutnya
dapat dilihat dalam buku Harun Nasution yang berjudul Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya jilid II. Dalam bukunya,
ditegaskan bahwa persoalan yang pertama-tama timbul dalam Islam menurut sejarah
bukanlah persoalan tentang keyakinan melainkan persoalan politik. Ketika Nabi
Muhammad berada di Madinah, tidak hanya sebagai Rasul tetapi juga sebagai
Kepala Negara pada masa itu. Para peneliti sejarah politik mengategorikan corak
politik yang diterapkan Nabi Muhammad adalah bercorak deo-demokratis, yaitu
suatu pola pemerintahan yang dalam menyelesaikan setiap persoalan terlebih
dahulu melakukan musyawarah, kemudian menunggu ketetapan Tuhan. Hal ini
dimungkinkan karena pada masa Nabi Muhammad wahyu masih dalam proses turunnya.
Setelah beliau wafat, pemerintahan negara secara
berturut-turut dipegang oleh Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ustman bin Affan dan
Ali bin Abi Thalib. Pada zaman empat khalifah ini, corak pemerintahannya adalah
aristokrat demokratik, yaitu sistem pemerintahan yang dalam menyelesaikan
masalah dengan cara musyawarah yang para anggotanya dari kalangan aristokrat.
Kalangan aristokrat sendiri adalah kumpulan bangsawan atau orang kaya yang
mendapat gelar bangsawan, sehingga mendapat hak-hak yang elit dan istimewa
untuk memimpin suatu wilayah.
Bibit perpecahan umat terjadi mulai zaman Usman bin Affan dan mencapai
puncaknya di zaman Ali bin Abi Thalib. Sebab-sebabnya antara lain krena
pemerintah Usman dinilai sudah kurang lurus. Politik neopotisme yang diterapkan
di zaman Usman menimbulkan reaksi yang tidak menguntungkan kedudukannya.
Selanjutnya, setelah Usman wafat, Ali bin Abi Thalib tampil mengantikannya,
tetapi segera ia mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi
khalifah, terutama Talhah dan Zubair dari Mekkah yang mendapat sokongan dari
Aisyah, tantangan yang datang dari Mu;awiyah, Gubernur Damaskus, dan
selanjutnya membawa kepada terjadinya peperangan yang kemudian diselesaikan
dengan perundingan tahkim (arbitrase) yang secara politik dan
diplomatik mengalahkan pihak Ali.
Selanjutnya, kekhalifahan dilanjutkan oleh kelompok Bani Umayyah dengan
Mu’wiyah bin Abi Sufyan sebagai pendirinya. Pada masanya corak pemerintahan
sudah berubah menjadi bentuk kerajaan, karena pengangkatan kepala negara tidak lagi berdasarkan musyawarah
secara demokratis, melainkan petunjuk kepada putra mahkota secara otokratis
Setelah tiga kesultanan tersebut hancur dan negara-negara islam di bawah kekuasaan penjajahan Barat, negara Islam
mengikuti sistem yang di terapkan kaum penjajah. Setelah berakhir masa
penjajahan Barat di akhiri abad ke sembilan belas, kini negara Islam mengambil
bentuk sistem pemerintahan yang tidak seragam.
Berdasarkan penelusuran kesejarahan, islam sejak kelahirannya telah
mengenal bentuk pemerintahan atau sudah mengenal sistem politik. Selain itu, sejarah juga menunjukkan
bahwa islam tidak mengenal bentuk pemerintahan tertentu. Islam dapat menerima bentuk dan sistem pemerintahan
apapun sepanjang bentuk dan sistem pemerintahan tersebut dapat menegakkan
keadilan, kemakmuran, kesejahteraan
lahir batin, aman dan damai bagi seluruh masyarakat.
Keberadaan politik dalam Islam selanjutnya dapat pula dilihat dari
munculnya berbagai teori politik, khususnya khalifah dan imamiyah yang
diajukan berbagai aliran. Berbagai aliran politik, teologi juga para filosof
sudah berbicara tentang politik. Jika Kaum syi’ah,
misalnya, mengatakan bahwa kekuasaan pemerintahan harus berasal dari keturunan Ali bin Abi Thalib, kaum
sunni tidak menerima paham-paham tersebut.
Sementara itu, dikalangan Khawarij terdapat doktrin yang menyatakan bahwa
seorang khalifah dapat dijatuhkan oleh rakyat manakala sudah menyimpang dari
syariat Islam yang
diyakini paling benar. Sedangkan Al-Ghazali dari kalangan sunni
berpendapat bahwa khalifah tidak dapat di jatuhkan, walaupun khalifah yang
zalim. Menggulingkan khalifah yang zalim tapi kuat akan membawa kekacauan
dan pembunuhan dalam masyarakat.
Selain kaum teolog, kaum filosof
Islam juga membahas soal politik dalam Islam. Al-Farabi umpamanya, meninggalkan
buku bernama al-Madinah al-Fadilah (Negara Terbaik). Didalamnya ia menguraikan bahwa
negara terbaik adalah negara yang dikepalai oleh seorang Rasul.
Selanjutnya, Munawir Sjadzali,
berdasarkan hasil penelitiannya menginformasikan, bahwa
dikalangan umat Islam sampai sekarang terdapat tiga aliran tentang hubungan
Islam dan ketatanegaraan.
a. Aliran petama, berpendirian
bahwa Islam bukan semata-mata agama dalam pengertian Barat, yakni hanya
menyangkut hubungan antara manusia dengan Tuhan, sebaliknya Islam adalah suatu
agama yang sempurna dan yang lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek
kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara. Tokoh-tokohnya
antara lain Syaikh Hasan Al-Bana, Sayyid Quthb, Syaikh Muhammad Rasyid Ridha
dan Maulana A.A.Maududi.
b. Aliran kedua, berpendirian
bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat, yang tidak ada hubungannya
dengan urusan kenegaraan. Tokoh-tokohnya antara lain Ali
Abd Al-Razik dan Thaha Husain.
c. Aliran ketiga, menolak
pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap dan bahwa dalam
Islam terdapat sistem
kenegaraan. Tokoh yang menonjol adalah Mohammad Husein Haikal.
C.
Model-Model
Penelitian Politik
Berikut ini akan di sajikan model penelitian politik yang
dilakukan oleh:
1. Model M.Syafi’i
Ma’arif
Salah satu hasil penelitian
bidang politik yang dilakukan Syafi’i Ma’arif tertuang dalam bukunya Islam dan Masalah Kenegaraan, yang
diterbitkan oleh LP3ES Jakarta, tahun 1985.
Hasil penelitiannya tertuang
dalam lima bab yang saling berhubungan logis. Bab I adalah Pendahuluan. Beliau
mengemukakan substansi ajaran Al-Qur’an mengenai ketatanegaraan. Ia mengatakan
usaha intelektual yang sungguh-sungguh dalam menjelaskan dan
mensistematisasikan berbagai aspek ajaran Islam perlu digalakkan agar umat
islam punya kemampuan menghadapi dan memecahkan masalah-masalah modern yang
sedang di hadapi oleh Bangsa Indonesia, seperti kemiskinan.
Dengan mengikuti pandangan ini, menurutnya, studi Al-Qur’an secara mendalam dan
sistematik menjadi sangat mutlak diperlukan. Tanpa kerja strategis ini,
bangunan sosio politik Islam akan tetap goyang.
Berangkat dari latar belakang
pemikirannya itu, masalah pokok yang ingin diteliti oleh Syafi’i adalah ingin
melihat seberapa jauh tingkat hubungan antara ajaran etik Al-Qur’an dan sunnah
Nabi dengan kenyataan empirik dalam sejarah kehidupan perpolitikan umat Islam
di Indonesia.
Selanjutnya Bab II mengemukakan
secara hati-hati teori-teori politik yang di rumuskan para yuris Muslim abad
pertengahan dan sarjana-sarjana serta pemikir Muslim Modern.
Selanjutnya Bab III, bertitik
berat pada mendekati Islam Indonesia di abad 20. Bab ini tidak hanya bersifat
deskriptif historis, tetapi juga analitis evaluatif.
Selanjutnya Bab IV, menguraikan
secara kritis masalah yang sangat krusial, yaitu pengajuan Islam sebagai dasar
falsafah negara oleh partai-partai Islam dan tantangan kelompok nasionalis
dalam sidang-sidang Majelis Konstituante Republik Indonesia. Bab V, kesimpulan
dari penelitiannya.
Selanjutnya
Syafi’I Ma’arif mengatakan bahwa suatu analisa tentang tema pokok dan
topik-topik lain dalam esai ini akan melahirkan tiga hipotesis yang berkaitan
secara organik yang
perlu dilacak lebih jauh. Tiga hipotesis tersebut ialah :
1. Islam di
Indonesia, sebagian telah disinggung di bagian awal merupakan suatu agama yang
hidup dinamis, ia bergerak perlahan-lahan tapi nampaknya pasti dari posisi
kuantitas ke posisi kualitas.
2. Usaha-usaha mengubah negara
Indonesia menjadi negara Islam, sekalipun sah menurut undang-undang Dasar pada
tahun 1950-an, merupakan usaha prematur dan tidak realistik karena fondasi
keintelektualan keagamaan yang kukuh bagi bangunan serupa itu belum lagi di
ciptakan.
3. Prospek Islam di Indonesia
nampaknya banya tergantung pada kemampuan intelektual muslim, para ulama-ulama
dan pemimpin-pemimpin Islam yang lain untuk memahami realitas masyarakat
mereka, baik di bidang politik, ekonomi sosial, maupun kultural serta
hubungannya dengan ajaran-ajaran Islam sebagaiman yang telah terurat dan
tersirat dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah yang sejati.
Dengan megikuti uraian tersebut, terlihat dengan jelas
bahwa model penelitian politik yang dilakukan Syafi’i Ma’arif sangat baik
dijadikan model oleh para peneliti selanjutnya. Bentuk penelitianya bersifat deskriptif analisis. Pendekatan dan
analisis yang digunakan bersifat normatif historis, sedangkan data-data yang
digunakan bersumber pada kajian perpustakaan.
2.
Model Harry J.
Benda
Penelitian di bidang politik juga dilakukan oleh Harry J.
Benda, sebagaimana tertuang dalam bukunya yang berjudul Bulan Sabit dan Matahari Terbit Islam di Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang, di terjemahkan
Daniel Dhakidae dari judul aslinya The
Crescent and The Rising Sun, dan diterbitkan oleh Pustaka Jaya, tahun 1980.
Penelitian tersebut berusaha mencari informasi dari
sumber-sumber sesudah perang, dalam usaha untuk menguji dan memeperbaiki gambaran
yang telah muncul dari studi catatan-catatan masa pendudukan.
Sejalan
dengan upaya tersebut, maka penelitian yang dilakukan dibuat untuk memberikan
analisa sosio-historis tentang elite islam dan dalam jangkauan yang lebih
kecil, tentang elit-elit non religius yang bersaing di panggung politik
Indonesia dibawah kekuasaan asing. Penelitian tersebut diarahkan pada
tempat-tempat yang diberikan kepada pemimpin masyarakat Islam oleh tuan
penjajah berturut-turut.
Dari
segi cakupannya, penelitian ini membahas perkembanagn islam di Pulau Jawa saja.
Batasan ruang lingkup yang patut disesalkan ini sebagian besar ditentukan oleh
sumber-sumber bahan yang bisa di peroleh. Terutama pada masa Jepang, banyak
informasi atau catatan-catatan kecil yang tidak dapat diperoleh peneliti.
Aspek
politik Islam Indonesia merupakan pokok utama dalam buku tersebut. Pembahasan
seperti ini terpaksa tidak memperdulikan adanya perbedaan regional yang
meliputi Islam bahkan dalam konteks terbatas di Pulau Jawa. Kesimpulan yang dihasilkan
dari penelitian tersebut, menurut Benda di Jawa telah mendapatkan perwujudan organisatoris
paling penting. Di sanalah kelompok-kelompok Islam paling langsung terlibat
dalam membentuk politik Indonesia pada umumnya.
Dari
uraian di atas, dapat diketahui bahwa model penelitian yang dilakukan Benda
mengambil bentuk penelitian kepustakaan dengan corak penelitian deskriptif,
dengan menggunakan pendekatan analisis sosio-historis.
Komentar
Posting Komentar